Pangeran Diponegoro
wafat : 8 Januari 1855.
tempat dimakamkan : Makasar, Sulawesi Selatan
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja
Mataram di Yogyakarta. Dan Pangeran Diponegoro adalah salah seorang
pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro mempunyai 17
putra dan 5 orang putri. la wafat di Makassar, Sulawesi Selatan, 8
Januari 1855 pada umur 69 tahun. Ia wafat sejak ia di asingkan ke
Makasar oleh Jenderal De Kock, yaitu pemimpin pasukan Belanda dalam
perang Diponegoro yang melawan rakyat pribumi. Perang Diponegoro terjadi
karena saat Belanda membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat
Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati
Tegalrejo. Ternyata di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam
dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal itu membuat Pangeran Diponegoro
tersinggung dan memutuskan untuk melawan Belanda. Beliau kemudian
memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam
tersebut. karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 Belanda
mengepung rumah Diponegoro. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830,
Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat
sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855. Akhirnya pada
tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian
dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Tuanku Imam Bonjol
Wafat : 8 November 1864
Tempat Dimakamkan : Manado, Sulawesi Utara
Nama sesungguhnya adalah Muhammad Syahab.
Semasa remaja , ia biasa dipanggil dengan nama Peto Syarif. Pada saat
remaja biasa di panggil Malim Basa. Tahun 1807 Malim basa mendirikan
Benteng di kaki bukit Tajadi yang kemudian diberi nama Imam Bonjol.
Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam
Bonjol wafat karena adanya Perang Paderi. Perang Paderi tarjadi karena
pada waktu itu di Minangkabau, sedang terjadi pertentangan yang hebat
antara kaum Paderi (kaum agama) dengan kaum adat tentang kehidupah bebas
para kaum adat seperti berjudi dan mabuk mabukan. Pada awalnya,
pertentangan ini hanya melibatkan kaum adat dan kaum paderi saja. Tapi
karena kedudukan kaum adat semakin terdesak, Kaum adat lalu meminta
bantuan kepada Belanda.
Sejak saat itu pulalah, Belanda ikut campur
dalam pertentangan di Minangkabau. Lalu Belanda mulai mendirikan
benteng di Batu Sangkar dan di Bukit Tinggi untuk memperkuat
kedudukannya. Tuanku Imam Bonjol memliki banyak pengikut yang membuat
Belanda kewalahan. Apalagi pada saat yang bersamaan, Belanda juga
terdesak dengan Perang Diponegoro sehingga Belanda merasa perlu
“berdamai sementara” dengan kaum paderi untuk mengalihkan kekuatan di
Pulau Jawa menghadapi Perang Diponegoro.
Setelah berakhirnya perang Diponegoro,
Belanda kembali menyerang Markas-markas Tuanku Imam Bonjol. Namun Tuanku
Imam Bonjol adalah panglima perang yang handal sehingga membuat Belanda
harus mengerahkan bantuan tambahan dan siasat-siasat licik.
Sehingga untuk menangkapTuanku Imam Bonjol, Belanda menggunakan
cara-cara kotor dengan cara mengajak berunding di seikitar Bukit Gadang
dan Tujuh Lurah. Dan disitu pulalah Tuanku Imam Bonjol ditangkap pada
tanggal 25 Oktober 1937.
Tuanku Imam Bonjol lalu ditawan di Bukit Tinggi lalu diasingkan dari
Cianjur lalu ke Ambon dan terakhir di Manado. Tuanku Imam Bonjolakhirnya
wafat di Manado pada tanggal 8 November 1864.
Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK Presiden RI No 087/TK/1973.
Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK Presiden RI No 087/TK/1973.
Sultan Hasanuddin
Tempat / tanggal lahir : Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 (39 tahun)
Tempat Makam : Komplek Pemakaman, Jl. Palantika, Kelurahan Ketangka, Gowa, Makassar
Deskripsi Perjuangan : Ia berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan
Kompeni. Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan
pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga
pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian
Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin
mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara
ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan
Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar
menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil
menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12
Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta
kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Cut Nyak Meutia
Tempat / tanggal lahir : Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870
Wafat : Alue Kuring, Aceh, 24 Oktober 1910
Tempat Makam : Alue Kuring, Aceh
Deskripsi perjuangan : Berjuang melawan
Belanda di Aceh bersama suaminya yang bernama Teuku Muhammad (Teuku
Tjik Tunong). Ia melakukan perlawanan dengan sisa pasukannya. Ia
menyerang dan merampas pos – pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo
melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet
Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng.
Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
Patti Mura
Nama Lengkap : Kapitan Pattimura
Tanggal Lahir: Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun 1783
Meninggal : Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817
Perjuangan : Perlawannya terhadap penjajah Belanda pada tahun 1783. Perlawannya terhadap penjajahan
Belanda pada tahun 1817 sempat merebut
benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah sebelumnya
melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau
akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman
gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817
akhirnya merenggut jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan
ini dengan keteguhannya yang tidak mau kompromi dengan Belanda. Beberapa
kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama
sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah
menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra Kesuma
Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan
disesali rahim ibu yang melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa
di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang pernah dikuasai oleh dua
negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan
penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang secara
resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini
pernah dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh
bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.
Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami
pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku yang
sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris.
Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk
dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris
di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi berkuasa.
Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung
mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi, seperti
bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya.
Tidak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun
sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan
yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke
daerah lainnya diseluruh Maluku.
Cut nyak Dien
Wafat : Sumedang Jawa Barat tahun, 6 November 1908
Makam : Gunung puyuh, Sumedang, Jawa Barat
Perjuangan : Cut Nyak Dien menikah pada
usia 12 tahun dengan Teuku Cik Ibrahim Lamanga. Namun pada saat
pertempuran di Gletarum, Juni 1878, Suami Cut Nyak Dien (Teuku Ibrahim)
gugur. Kemudian Cut Nyak dien bersumpah hanya akan menerima pinangan
dari laki-laki yang bersedia membantu untuk menuntut balas kematian sang
suami.
Cut Nyak Dien akhirnya menikah kembali
dengan Teuku Umar tahun 1880, kemenakana ayahnya Seorang pejuang Aceh
yang juga cukup disegani oleh Belanda. Sejak itu Cut Nyak Dien selalu
berjuang berama suami barunya, Teuku Umar (September 1893- Maret 1896).
Dalam perjuangannya, Teuku Umar berpura-pura bekerjasama dengan Belanda
sebagai taktikuntuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang lainnya.
Sementara Itu Cut Nyak Dien tetap berjuang melawan Belanda di Kampung
halaman Teuku Umar. Teuku Umar akhirnya bergabung lagi kembali dengan
para pejuang setelah taktiknya diketahui oleh Belanda.
Tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur
dalam pertempuran di Meulaboh namun Cut Nyak Dien tetap meneruskan
perjuanngannya dengan bergerilya dan tidak pernah mau berdamai dengan
Belanda yang disebutnya “Kafir-Kafir”.
Perjuangannya yang berat karena memaksanya
beserta pasukannya keluar masuk hutan menyebabkan keadaan Cut Nyak Dien
drop dan menderita sakit Encok.
Karena kasihan dengan keadaan Cut Nyak
Dien, para pengawalnya membuat kesepakatan dengan Belanda asal “Cut Nyak
Dien tidak diperlakukan sebagaiorang terhormat dan bukan sebagai
penjahat perang”
Sebagai tawanan, Cut Nyak Dien masih sering
kedatangan tamu dan karenanya Belanda masih menghkawatirkan pengaruh
Cut Nyak Dien sehingga membuangnya ke Sumedang.
Cut NYak Dien akhirnya wafat di Pengasingan sebagaipejuang wanita berhati baja dan ibu bagi rakyat Aceh.
Cut NYak Dien akhirnya wafat di Pengasingan sebagaipejuang wanita berhati baja dan ibu bagi rakyat Aceh.
Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Cut Nyak Dien berdasarkan SK Presiden RI No 106/1964.
Christina Martha Siahahu
Wafat : Laut Maluku, 2 Januari 1818
Makam : Laut Maluku
Christina Martha Siahahu
adalah putri dari seorang pemimpin pejuang rakyat Maluku, Kapitan Paulus
Tiahahu. Sejalan dengan semakin meluasnya perlawanan yang dilakukan
Kapitan Pattimura di Saparua, penduduk di Nusa Laut pun gigih berjuang
melawan Belanda. Christina Martha Siahahu yang saat itu masih amat muda
terlah ikut berperang mendampingi ayahnya. Christina Martha dan ayahnya
juga sempat menguasai Benteng Beverwijk.
Belanda kemudian menugaskan
perwira angkatan lautnya untuk pergi ke Nusa Laut untuk memerangi
pejuang-pejuang disana. Perlawanan rakyat Nusa Laut akhirnya dapat
dipatahkan dan Benteng Beverwijk berhasil dikuasai kembali oleh Belanda
pada tanggal 10 November 1817.
Christina dan ayahnya
akhirnya dapat ditangkap oleh Belanda dan mendapatkan hukuman. Ayahnya
mendapat hukuman mati, sementara Christina dibebaskan oleh Belanda
akibat belum cukup umur / terlalu muda. Paulus mengajak anaknya untuk
melihat eksekusi tembak mati yang dilakukan oleh Belanda terhadap
ayahnya, dan Christina melihat itu semua dengan tegar.
Setelah dibebaskan berupaya
untuk memberontak lagi. Akhinya ia kembali ditangkap bersama 39
pemberontak lainnya. Christina Martha Siahahu dihukum dibuang ke Pulau
Jawa. Christina bersama pemberontak lainnya diangkut ke Pulau Jawa
dengan menggunakan kapal Evertzen.
Di atas kapal, Christina Martha Siahahu jatuh sakit. Namun ia menolak untuk diberi makan dan diobati oleh Belanda sehingga akhirnya ia meninggal dalam perjalanan. Jenazahnya kemudia secara diam-diam diturunkan ke laut oleh seorang perwira Belanda yang bersimpati pada perjuangannya.
Di atas kapal, Christina Martha Siahahu jatuh sakit. Namun ia menolak untuk diberi makan dan diobati oleh Belanda sehingga akhirnya ia meninggal dalam perjalanan. Jenazahnya kemudia secara diam-diam diturunkan ke laut oleh seorang perwira Belanda yang bersimpati pada perjuangannya.
Untuk menghormati jasa-jasa
Christina Matha Tiahahu, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.
012/TK/1969, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya.
Pangeran Antasari
Wafat : Bayan Begak, 11 Oktober 1862
Makam : Banjarmasin.
Perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda
dimulai saat Belanda mengangkat Tamjidillah sebgai Sultan Banjar
menggantikan Sultan Adam yang wafat. Rakyat Banjar dan keluarga besar
Kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari, menuntut agar Pangeran
Hidayatullah, sebagai pewaris takhta Kesultanan Banjar, harus menjadi
Sultan Banjar. Sejak saat itulah, rakyat Banjar dipimpin oleh Pangeran
Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman mengangkat senjata
melawan Belanda.
Pangeran Antasari ebrhasil menyerang dan
menguasai kedudukan Belanda di Gunung Jabuk. Pangeran Antasari jugat
menyerang tambang batubara Belanda di Pengaron. Pejuang-pejuang Banjar
juga berhasil menenggelamkan kapal Onrust beserta pemimpinnya, seperti
Laetnan Van der Velde dan Letnan Bangert. Peristiwa yang memalukan
Belanda ini terjadi atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung
Suropati.
Pada Tahun 1861, Pangeran Hidayatullah
berhasil ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pangeran antasari kemudian mengambil alih pimpinan utama. Ia diangkat
oleh rakyat sebagai Panembahan Amiruddin Khafilatul Mu’min, sehingga
kualitas peperangan menjadi semakin meningkat karena ada unsur agama.
Sayang, Pangeran Antasari akhirnya wafat tanggal 11 Oktober 1862 karena
penyakit cacar yang saat itu sedang mewabah di Kalimantan Selatan.
Padahal, saat itu, ia sedang menyiapkan serangan besar-besaran terhadap
Belanda.
Untuk menghormati jasa-jasa Pangeran Antasari, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI, No.06/TK/1968, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasionak Kepadanya.
Teuku Umar
Wafat : Meulaboh , Aceh, 11 February 1899
Makam : Kampung Mugo,Pedalaman Meulaboh
Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin
perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku
Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah
berjasa terhadap Sultan Aceh. Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku
Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal
umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya
sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku
Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya
Meulaboh.
Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang
bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19
tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian
dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat
sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Kemudian Teuku Umar menikah dengan Cut Nyak Dien, sebelemnya Cut Nyak
Dien sudah memiliki suami, tetapi meninggal dunia, kemudia ia menikah
dengan Cut Nyak Dien. Kemudian mereka berdua melakukan serangan terhadap
pos-pos Belanda di Krueng.
Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883.
Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara
keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi
bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda).
Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda.
Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas
keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud
memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh.
Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut,
pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan
dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250
tentara dengan senjata lengkap.
Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah
menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku
Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah
memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai
kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah
17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot
sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf
yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas
militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata,
25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan
kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik
kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai
tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu
yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan
Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud
yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam
pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di
pihak Belanda.
Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan
Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara
besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke
daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan
perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10
Februari 1899.
Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973,
Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga
diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah
satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain
itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh,
Aceh Barat.
SISINGAMANGARAJA XIII
Wafat : Simsim,17 Juni 1907
Makam : Pulau Samosir
Nama aslinya Patuan Besar Ompu Pulo Batu. Nama Sisingamaraja XII
baru dipakai pada 1867, setelah ia diangkat menjadi raja menggantikan
ayahnya yang mangkat. Sabng ayah meninggal akibat serangan penyakit
kolera.
Febuari 1878, Sisingamaraja mulai melakukan
perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belanda. Ini dilakukan untuk
mempertahankan daerah kekuasaannya di tapanuli yang dicaplok Belanda.
Dimulai dari penyerangan terhadap pos-pos Belanda lainnya terus
berlangsung di antaranya sebagai berikut:
-Mei 1883, pos Belanda di Uluan dan Balige diserang oleh pasukan Sisingamaraja.
-Tahun 1884, pos Belanda
berhasil memperkuat pasukan bdan persenjataannya. Kondisi ini membuat
pasukan Raja Batak ini semakin terdesak danb terkepung. Pada pertempuran
inilah Sisingamaraja XII gugur tepatnya padab tanggal 17 Juni 1907.
Bersama-sama dengan purinya (Lopian) dan dua orang putranya (Patuan
Nagari dan Putaun Anggi)
Sisingamaraja kemudian dimakamkan di Balige
dan selanjutnya kembali dipindahkan ke pulau Samosir. Sisingamaraja
dianugrahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional berdasarkan SK Presiden RI No.590/1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar